Pernikahan sirri atau yang
sering kita sebut dengan pernikahan dibawah tangan sekarang ini menjadi
perbincangan dikalangan masyarakat. Sering kita lihat di media telivisi maupun
cetak, infotainment dan siaran berita telivisi, ramai memperbincangkan masalah
nikah sirri atau dibawah tangan, para pelaku yang menjadi sorotan media
merupakan sosok yang menjadi public vigur dan orang terpandang, terutama
didunia para artis, pejabat negara maupun pengusaha.
Dizaman yang serba modern
sekarang ini banyak sekali kita jumpai pasangan yang lebih memilih untuk
melakukan nikah sirri/nikah dibawah tangan terutama untuk kalangan kelas
menengah ke bawah. Hal tersebut dipengaruhi dengan keterbatasan pengetahuan
mengenai hukum, akibat yang akan ditimbulkan, serta masalah biaya. Sedangkan
untuk kalangan menengah ke atas mendalihkan takut akan dosa dan zina dan alasan
lainnya. Contohnya yang sering kita lihat di televise, banyak
diantara
artis-artis ibu kota yang melakukan nikah sirri dan ketika pernikahan itu
terjadi maka dari pihak perempuan (istri) tidak bisa berbuat apa-apa karena
pernikahan itu illegal (tidak tercatat oleh hokum negra), sehinga dalam hal ini
pihak perempuanlah yang paling dirugikan.
Sebagian orang juga
berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan sirri, maka suami istri
tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan, artinya jika suami meninggal dunia,
maka istri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta
suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika istri yang meninggal dunia.
Lalu bagaimana pandangan
islam terhadap nikah sirri??, bolehkah orang yang melakukan nikah sirri di
pidanakan??, Benarkah orang yang melakukan pernikahan sirri tidak memiliki
hubuntgan pewarisan?. Pada makalah ini penulis mencoba menjelaskan tentang
Nikah Sirri ditinjau dalam perspektif fikih, sosiologis dan psikologis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nikah
Menurut syara’ nikah berarti: Akat yang menyebabkan
bolehnya melakukan istimta’(campur) dengan seorang wanita, dan ini
dapat terjadi jika wanita itu bukan orang yang haram dinikahi karena hubungan
nasab.1 Nikah
menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau arti
hukum ialah akad yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suaami istri
atara seorang wanita dengan seorang pria. [1]
Tentang hukum melakukan perkawinan, Ibn Rasyd
menjelaskan: Menurut segolongan fuqaha’ nikah itu hukumnya sunah.
Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para Malikiyah
Mutakhirin berpendapat bahwa wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian
yang lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain.
Perbedaan pendapat ini kata Ibn Rusyd disebabkan
adanya penafsiran apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits-hadits
berkenan dengan masalah ini, harus diartikan wajib, sunnah ataukah mungkin
mubah. Jadi dapat dikatakan bahwa hukum nikah itu bisa Wajib, sunnah,
mubah,makruh bahkan haram, ini semua tergantung dari niatnya masing-masing dan
kemampuan untuk menghadapi masa baru, baik itu dari segi materi maupun non
materi.[2]
B. Nikah
Sirri
Pengertian sirri berasal dari bahasa arab yang artinya
adalah rahasia,[3] jadi dapat
dikatakan nikah sirri adalah nikah yang di rahasiakan, dirahasiakan karena
takut dan malu di ketahui umum. Padahal nikah itu harus di maklumatkan, di
umumkan, di ketahui oleh orang banyak supaya menghilangkan Fitnah dan menjaga
nama baik dan kehormatan.
Perkawinan sirri yang
terjadi di dalam masyarakat adalah kasus yang lama sekali muncul dan hadir di
tengah masyarakat, tetapi selama itu pula jeratan hukum begitu menyiksanya
terutama bagi para istri. Hak dan kewajibannya dirampas oleh hukum atau Hakim. Kajian
perkawinan sirri yang terjadi di dalam masyarakat termasuk kajian etika
terapan, karena perkawinan sirri dipandang menurut norma hukum dan norma agama.
Padahal mempelajari norma hukum atau norma agama berarti mempelajari pengaruh
hukum terhadap masyarakat.
C. Macam-Macam
Nikah Sirri dalam Tinjauan Syari’ah dan Sosial
Ditinjau dari hukum syari’ah dan hukum positif yang
berlaku di Indonesia, maka nikah sirri memiliki beberapa macam sebagai berikut:
1.
Nikah Yang Dilakukan Tanpa Adanya Wali.
Pernikahan seperti ini
jelas halnya bahwa pernikahan yang dilakuakan tanpa wali adalah tidak sah.
Sebab wali merupakan rukun sahnya pernikahan. Seperti halnya Rasulullah
SAW.bersabda:
لاَ نِكَاحَ
إِلَّا بِوَلِّيٍ
Artinya: “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang
wali.”[4].
Berdasarkan dalalah
al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak
sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat
sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits
yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ , فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ
Artinya: “Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil[5].
Artinya: “Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil[5].
Berdasarkan
hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah
pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan
berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk
dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
Secara sosial, jika
pernikahan tanpa wali itu dilalalkan maka bannyak anak-anak remaja putri yang mudah
melakukan nikah tanpa seizin dan sepengetahuan orang tua. sehingga timbul sikap
mempermudah pernikahan yang didasari atas syahwat. Secara psikologis menikah
dengan dihadiri dan direstui orang tua sebagai walinya akan menumbuhkan
ketentraman batin.
2.
Pernikahan yang dialakukan tanpa dicatatkan oleh
petugas PPN yang ada dibawah wewenang KUA atau disebut juga nikah dibawah
tangan.
Pernikahan seperti ini
menurut agama hukumnya sah akan tetapi dari segi hukum formal atau
undang-undang bahwa perrnikahan tersebut tidak sah. Pada dasarnya, fungsi
pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang
memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya
benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti
yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada
lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen
resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan
majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun
sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak,
perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Adapun yang menjadi
dasar hukum bahwa pernikahan itu haruslah dicatat kepada lembaga pemerintah
(KUA/catatan sipil) sebagai berikut:
Allah SWT berfirman;
Allah SWT berfirman;
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya(QS: Al-Baqarah (2):
Sungguh agama islam itu
sangat sesuai dengan fitrah manusia, hal yang berkaitan dengan pencatatan pernikahan
dilembaga pencatatan Negara ini sangat penting karena sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang
terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi dan salah
satu bentuk pembaruan hukum kekeluargaan islam adalah dimuatnya pencatatan
perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi.
Sebagaimana yang di atur dalam kompilasi hukum islam (KHI) pada pasal 5 ayat 1
maupun di dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa: “tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”[6]
3.
Pernikahan yang dilakukan tanpa adanya saksi.
Pernikahan seperti ini
jelas halnya bahwa perkawinanya tidak sah. Seperti halnya Rasulullah SAW
bersabda yang artinya;
لاَ نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيِّ
وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
Artinya: Dari Aisyah bahwa rasul allah saw berkata
tidak ada nikah kecuali denagan wali dan dua orang saksi yang adil (HR.
Al-Daraquthniy)
Pernikahan yang
dihadiri saksi dan wali akan tetapi tidak di I’lankan kekhalayak (penyampaian
berita kepada khlayak) atau disebut juga walimah. Sebagian ulama berkata bahwa
melaksanakan walimah di dalam pernikahan itu wajib hukumnya. Akan tetapi tidak
semua mengatakan bahwa hal tersebut wajib. Seperti halnya hadis dibawah ini:
أَوْلِمْ
وَلَوْ بِشَاةٍ
Artinya: “Adakah walimah walaupun dengan seekor
kambing”. (HR. Bukhari, Muslim
Ketiga proses pernikahan
diatas marupakan jenis pernikahan sirri, dalam tinjauan syari’ah maka yang
dibolehkan adalah nikah sirri yang nomor 2, yaitu pernikahan yang lengkap
syarat rukunnya secara syari’ah akan tetapi tanpa dicatat oleh pihak pemerintah
yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Meskipun pernikahan sirri adalah sah menurut agama. Apakah
asumsi ini benar? Perlu penelitian yang serius tentang hal ini. Karena dalam
hukum Islam sebuah pernikahan itu dikatakan sah apabila telah terpenuhi semua
rukun dan syarat yang telah ditentukan oleh agama. Dalam banyak kasus yang
terjadi, pernikahan sirri dilakukan dengan mahsud tertentu, dan tujuan
pernikahan tersebut agar tidak diketahui oleh umum. Apakah pernikah
seperti ini tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam? Nabi dalam banyak
hadisnya selalu mengingatkan untuk menghadiri walimah , mengi’lankan
(mengumumkan) perkawinan. Tjuannya tentu agar diketahui umum bahwa antar si A
dan B telah terikat tali perkawinan.
Rasulullah
Muhammad SAW bersabda :
أعلنوا هذا النّكاح واجعلوه فى المساجد
واضربوا عليه بالد فوف
Artinya: Publikasikanlah
pernikahan, selenggarakanlah dimasjid-masjid dan iringilah dengan rebana.
H.R At-tirmidzi dari Aisyah
Dalam
hadist diatas secara tegas menyatakan tentang perintah untuk mengumumkan dan
memberitahukan kepada khalayak ramai tentang terjadinya pernikahan. Tidak
diperkenankan untuk dirahasiakan dar masyarakat. Karena adanya
perkawinan akan menimbulkan banyak sekali konsekwensi dibelakang.
Jadi
perlu penela’ahan yang mendalam sebelum menetapkan bahwa pernikahan sirri itu
adalah sah, orang yang melakukan pernikahan sirri patut diduga ada sesuatu yang
disembunyikan, sementara pernikahan itu sendiri pada dasarnya harus
diberitahukan pada khalayak supaya tidak timbul fitnah, disamping itu juga
dengan tujuan diketahui, apakah antara mereka tidak ada pelanggaran terhadap
halangan perkawinan.
Selanjutnya
jika dibicarakan masalah dampak dari pernikahan sirri, bisa dikatakan bahwa
secara umum sangat merugikan bagi isteri sebagai perempuan, baik secara yuridis
maupun sosiologis. Secara yuridis dampak yang ditimbulkan antara lain:
1.
Tidak dianggap sebagi istri yang sah.
2.
Tidak berhak atas nafkah dan wariasan dari suami jika
ia meninggal dunia
3.
Tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan,
karena secara hukum pernikahan siri dianggap tidak pernah terjadi.
4.
Secara sosiologis dampaknya adalah sebagi berikut:
5.
Sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan
pernikan sirri telah dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa
ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau dianggap sebagi
istri simpanan.
6.
Jika telah mempunyai anak, maka anak hanya memiliki
hubungan perdata dengan ibu dan keluaga ibu. Artinya sianak tidak memilki
hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 undang-undang perkawinan
, pasal 100 KHI).
7.
Dalam akte kelahirannya pun status dianggap anak
diluar nikah
8.
Suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan
sebelumnya yang dibawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum.
9.
Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajbannya
memberikan nafkah baik kepada istri maupun anak-anaknya.
Kenyataan
menunjukan adanya beberapa (bahkan banyak) perempuan yang mau dinikahi sirri,
tetapi hal ini tidak bisa menunjukan bahwa mereka memilki jalan
hidup yang demikian. Oleh karena itu kesediaan perempuan untuk dinikahi sirri
tidak bisa dijadikan sebagi alat untuk mau dinikahi sirri. Tidak bisa dijadikan
alat untuk menggeneralisasikan bahwa setiap perempuan pada dasarnya mau
dinikahi sirri.
Sebab
realitas kehidupan perempuan yang dinikahi sirri cenderung banyak mengalami
kekerasan dibanding kebahagiaan. Temuan yang ditemukan Rifka Anisa[7] tahun 2003 menunjukan 210 kasus kekerasan
(fisik, ekonomi, seksual maupun emosi) terhadap isteri, kebanyakan korban
berstatus dimadu maupun tidak resmi serta pasangan memilki WIL.
Upaya
penyelesaian kasus-kasus semacam ini diatas sangat diperlukan. Analisis
menekankan bahwa pada hakekatnya untuk kembali mengkritisi ayat-ayat yang
berkaitan dengan poligami. Tujuannya bukan mempersoalkan poligami, namun
keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam poligami malah sering kali
malah terabaikan dalam praktek sekarang, karena itu pembolehan poligami bukan
dimahsud sebagai lisensi baru bagi berlakunya poligami, melainkan lebih
diarahkan upaya pentahapan secara gradual untuk menuju monogami, meskipun ada
toleransi bagi adanya poligami, tetapi hal ini lebih dipandang sebagi force
majeure yaitu keadaan memaksa yang membutuhkan penanganan khusus untuk
kasus tertentu yang tidak dapat digeneralisasikan kebolehannya dan tetap dengan
persetujuan isteri secara jujur, serta kemampuan untuk menegakkan prinsip
keadilan kepada para isteri.
Ada
fenomena menarik, dalam penelusuran diinternet, berdasarkan data KUA Situbondo
, diperkiran ada 3000 kasus kawin sirri didaerahnya dan untuk Jawa Timur ada
lebih 30.000 kasus. Kasus serupa juga merebak disentra indrustri seperti
Cikarang, Bekasi,[8] dari analisis berikutnya , penyebab
maraknya pernikahan sirri dikarenakan ketidak tahuan masyarakat tentang dampak
pernikahan sirri. Masyarakat miskin hanya bisa berfikir jangka pendek, yaitu
terpenuhinya kebutuhan ekonomi secara cepat dan mudah. Sebagian yang lain
mempercayai bahwa istri simpanan kiai, tokoh dan pejabat akan mempercepat
perolehan status sebagai isteri terpandang dimasyarakat, kebutuhannya tercukupi
dan bisa memperbaiki keturunnya. Keyakianan itu begitu terpatri dan mengakar
dimasyarakat. Cara-cara instan memperoleh materi, keturunan, pangkat dan
jabatan bisa didapat melalui pertukaran perkawinan. Dan anehnya perempuan yang
dinikahi sirri merasa enak saja dengan status sirri hanya karena
dicukupi kebutuhan materi mereka, sehingga menjadi hal yang dilematis dan
menjadi faktor penyebab KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) semakin
subur dikalangan masyarakat miskin, awam dan terbelakang. Mereka menganggap
nikah sirri sebagai takdir yang harus diterima oleh perempuan begitu saja.
Faktor
ketidaktahuan ini menyebabkan keterbelakangan masyarakat. Mereka miskin akses
informasi, pendidikan dan ekonomi. Mereka tidak tahu dan tidak mengerti
hukum.mereka tidak sadar hukum dan tidak tahu bagaimana mendapat perlindungan
hukum apabila mengalami kekerasan terhadap anak dan perempuan. Sementara sikap
masyarakat masih menganggap, nikah sirri merupakan hak privasi yang tabu
diperbincangkan. Masyarakat enggan terlibat terhadap urusan rumah tangga orang.
Setelah perempuan menjadi istri simpanan maka terampas hak-hak istri. Istri
simpanan rentan dipermainkan oleh laki-laki tidak bertanggung jawab. Contoh,
ada kasus mahasiswi pendatang menikah secara sirri, kemudian ditinggal oleh
suaminya. Si istri dating ke Pengadilan Agama (PA) daan meminta
tolong. Tetapi pihak aparat tidak bisa menolong secara hukum, karena mereka
melakukan nikah sirri yang tidak dicatat secara sah oleh hukum, istri sirri
tidak punyakekuatan hukum. istri sirri tidak memperoleh hak hak milik berupa
harta benda, dan status anak mereka. Nikah sirri tidak diakui oleh hukum. kasus
yang terjadi, ada sebagian istri sirri ditinggalkan begitu saja, ditelantarkan,
tidak diberi nafkah dengan cukup, tidak ada kepastian dari suami atas status
mereka.
Penyebab
maraknya nikah sirri dikarenakan ketidaktahuan masyarakat terhadap dampak
pernikahan sirri. Masyarakat hanya bisa berpikir jangka pendek, yaitu terpenuhi
kebutuhan yang diinginkan secara cepat. Sebagian yang mempercayai, bahwa istri
simpanan kiai, tokoh dan pejabat mempercepat perolehan status sebagai istri
terpandang di masyarkat, kebutuhan tercukupi dan bisa memperbaiki keturunan
mereka. Keyakinan itu begitu dalam terpatri dan mengakar di masyarakat.
Cara-cara instant memperoleh materi, keturunan, pangkat dan jabatan bisa
didapatkan melalui pertukaran perkawinan. Dan anehnya perempuan yang dinikahi
sirri merasa enak saja dengan status sirri hanya karena dicukupi kebutuhan
materi, terkadang mereka juga menganggap nikah sirri sebagai takdir
yang harus diterima.
Faktor
ketidaktahuan atau tidak sadar hukum sebagian masyarakat masih menganggap,
nikah sirri adalah hak privasi yang tabu diperbincangkan, sehingga masyarakat
enggan terlibat lebih dalam urusan rumah tangga orang. Padahal ada beberapa
masalah seperti antara lain:
a. Istri tidak bisa menggugat suami, apabila
ditinggalkan oleh suami
b. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri,
hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat
c. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian
yang kuat (mistaqon gholidho) karna tidak tercatat secara hukum
d. Apabila mempunyai anak, maka anak tersebut
tidak memilki status, seperti akta kelahiran. Karna untuk memperoleh akta
kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah
e. Istri tidak memperoleh tunjangan apabila
suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja
f. Apabila suami sebagi pegawai, maka istri
tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pension suami.
D. Pandangan
Komprehensif Islam
Islam
memandang bahwa pernikhan adalah sebuah perjanjian yang agung(Mistaqon
gholidho) yang membawa konsekwensi suci atas pasangan laki-laki dan
perempuan. Pernikahan bukan semata untuk melampiaskan nafsu syahwat, tetapi
terkandung tujuan mulia untuk menjaga kelestarian generasi manusia. Pernikahan
juga merupakan pintu gerbang menuju kehidupan keluarga yang sakinah dan
sejahtera. Dalam tujuan sosiologis, kedudukan keluarga sangat urgen dalam
kehidupan masyarakat secara umum. Pernikahan adalah proses menuju kehidupan
sesungguhnya dalam masyarakat yang lebih luas. Setelah mereka menjadi pasangan
suami istri, mereka akan menjalin relasi dan bersentuhan dengan banyak pihak
sebagi konsekwensi atas kedudukan mereka sebagai bagian dari anggota
masyarakat. Semakin modern masyarakat, akan lebih banyak mensyaratkan sebuah
relasi antara keluarga dan masyarakat secara procedural-administratif. Dan
pencatatan pernikahan adalah manifestasi prosedur-administratif yang dijalankan
untuk sebuah tertib masyarakat, maka akan ada data penting menyangkut status seseorang
sehingga berbagi penyelewengan status dapat dieliminasi.
Undang
undang perkawinan no 1 tahun 1974, adalah hukum positif yang mengatur proses
pernikahan di Indonesia. Disamping segala persyaratan formil sebagaimana yang
telah disyaratkan Islam, ada ketentuan tambahan yang terdapat dalam undang
undang itu yang mengatur secara administrasi sebuah proses pernikahan. Dengan
tujuan pernikahan yang tercatat dan terdata, akan lebih memudahkan control
terhadap pelaksanaan syariat dalam pernikahan warga masyarakat. Hak perempuan
dan anak akan lebih terjamin dalam sebuah pernikahan yang legal secara hukum,
sehingga hal in sesuai dengan semangat kemaslahatan yang menjadi syariat Islam.
E. Perkawinan
Tanpa Payung Hukum
Sejak adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, sampai saat, UU ini ini secara hukum formal telah mengatur
perkawinan bagi masyarakat Indonesia dengan latar belakang agama dan budaya
yang berbeda. Namun demikian Undang-undang tersebut banyak sekali dilanggar pengakuan dari ayahnya, karena tidak ada bukti hitam di
atas putih dari pernikahan itu.
Menurut konvensi penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap wanita, atau yang dikenal dengan konvensi wanita, kasus
nikah sirri dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap
perempuan, karena dalam nikah sirri hak-hak perempuan tidak terlindungi
oleh hukum. Begitu pula anak dari hasil nikah sirri, melanggar UU RI No.
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu pasal 5 dan 7.
Secara
psikologis, kaum perempuan mengalami penderitaan karena diabaikan oleh suami sirrinya,
yang karena kelonggaran aturan nikah sirri tidak mau mengakui
pernikahannya atau lebih buruk lagi tidak mengakui anak yang dihasilkan dari
nikah sirri tersebut. Niikah sirri sah secara agama dan tidak
dilakukan pencatatan oleh KUA, namun nikah sirri tidak sah menurut hukum
yang berlaku di negara RI karena yaitu
melanggar pasal 1 dan 2 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
F. Perkawinan
Tanpa Payung Hukum
Sejak adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, sampai saat, UU ini ini secara hukum formal telah mengatur
perkawinan bagi masyarakat Indonesia dengan latar belakang agama dan budaya
yang berbeda. Namun demikian Undang-undang tersebut banyak sekali dilanggar
Oleh masyarakat. Hal ini dapat terlihat
misalnya dari kasus masih banyaknya nikah sirri yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat Indonesia walaupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
G. Nikah
Sirri menurut UU RI No. 1 Tahun. 1974
[2] Lebih jelasnya lihat, Abdul Rahman Ghazaly , Fikih
Munakahat, ( Jakarta: Prenanda Media, 2003), hal. 18-21.
[3]http://kamus.javakedaton.com/arabindonesia.php?submit=%D8%A8%D8%AD%D8%AB&s=%D8%B3%D8%B1%D9%91,
diakses pada tanggal 29 Desember 2015 pukul 20.20 wib
[4]
Hadir Riwayat yang lima kecuali Imam An Nasaaiy,
lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648
[5] ”. Hadits riwayat yang
lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230
hadits ke 2649
[6] Dr. H. Amiur Naruddin , MA, hukum
perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004) halm. 121-123
[8] Pannita wordprees.”nikah
sirri” tersedia di website; http//www.pannita.wordprees.com/2007/02/nikah
sirri/htm, diakses peada tanggal 28 Desember 2015 pukul: 23.00 wib
0 komentar:
Posting Komentar